Untuk Bapakku tersayang
Entah harus memulai darimana
untuk bercerita,..
Bapak..
Teringat
ketika Bapak mengajariku naik sepeda roda 2 dengan tambahan 2 roda di samping
kiri dan kanan, Bapak mendorong sepedaku, memegangiku agar aku tidak terjatuh. Ketika
aku sudah mulai lancar bersepeda, Bapak ikut berlari mengejarku, sekali lagi
agar aku tidak terjatuh. Ketika Bapak tahu kalau sepeda ku akan menabrak
pembatas jalan, Bapakku dengan cepat berlari, segera menggendongku dan
memindahkanku dari atas sepeda, dan lagi-lagi agar aku tidak terjatuh.
Teringkat
ketika aku berangkat ke sekolah pertama kali menggunakan sepeda motor. Bapak
mengikutiku dari belakang hingga sampai di depan sekolah. Aku mengira Bapak
akan kembali ketika sampai di tengah jalan, karena Bapak harus segera berangkat
bekerja saat itu. Ternyata tidak, bapak masih mengikutiku hingga aku masuk di
gerbang sekolah, padahal jarak rumahku cukup jauh sekitar 10km sehingga
membutuhkan waktu 40 menit untuk pulang-pergi dari rumah. Bapak tidak pernah
berkata lelah kepadaku. Bapak juga selalu mengingatkanku agar tidak menyetir
motor di atas kecepatan 40km/jam. Meskipun aku sering kali nakal dengan
mengemudikan sepeda motorku di atas itu, bahkan 2 kali lipatnya.
Teringat
ketika aku belum pulang pukul 8 malam, Bapak meneleponku berkali-kali untuk
menanyakan keberadaanku, menyuruhku untuk segera pulang. Dan ketika aku sudah
kuliah, sering kali aku pulang lebih dari jam 9 malam bahkan jam 11 pun pernah.
Bapak akan selalu marah, tapi aku tahu, itu karena Bapak tidak ingin melihatku
kenapa-kenapa. Terlebih Bapak sering mendengar berita penculikan, penjambretan
yang tidak segan melukai bahkan membunuh korbannya. Bapak bilang, “Bapak gak
masalah sepedamu, gak masalah laptop yang kamu bawa, tapi nek kamu yang
kenapa-kenapa, Bapak yang gak rela, keselamatan anak perempuan Bapak
satu-satunya, gak bisa diganti sama uang sebanyak apapun.” Ya Allah…saya
sungguh keterlaluan jika selalu membuat Bapak sekhawatir itu.
Teringat
ketika aku sering tertidur di depan televisi, Bapak selalu menggendongku,
memindahkanku ke tempat tidurku, agar tidurku lebih nyenyak. Bapak juga selalu
‘menyebleki’ nyamuk-nyamuk yang menghinggapiku ketika aku tidur, Bapak tidak
ingin kenyamanan tidurku terganggu karena gigitan nyamuk itu.
Teringat
ketika aku berbuat kesalahan, sehingga membuat Bapak marah. Aku pun menangis
dan terlihat canggung ketika bertemu Bapak. Bapak dengan lembutnya membelikanku
sesuatu yang aku sukai kemudian meminta maaf karena telah memarahiku dan dengan
nada rendah menasehatiku agar tidak mengulanginya. Bapak, begitu lembut
perasaannya, mudah merasa bersalah,
padahal akulah yang memang bersalah.
Teringat
ketika Bapak selalu mengecek keadaan sepeda motorku sebelum aku berangkat ke
Surabaya, mencoba rem, melihat bensin, menekan-nekan ban dan masih banyak lagi,
memastikan anak perempuannya selamat dalam perjalanan menuju Surabaya. Jika ada
yang tidak beres dengan sepeda motorku, Bapak selalu berusaha memperbaiki
semampunya. Jika tidak dapat diselesaikannya, maka Bapak selalu menyuruhku
menggunakan motor ibuku terlebih dahulu. Ya, agar anak perempuannya ini
baik-baik saja di perjalanan.
Teringat
ketika Bapak menceritakan kehidupannya yang tidak seberuntung aku dan masku
kini. Bapak ketika sekolah hanya mendapat uang saku yang pas-pasan untuk naik
bis pulang-pergi, pernah sesekali Bapak tidak punya uang untuk pulang naik bis,
namun Bapak nekat naik bis dan akhirnya tidak diusir karena merasa iba ke Bapak.
Uangnya habis hanya karena Bapak merasa lapar dan ingin sekali membeli ote-ote
yang dibeli teman-temannya.Lain cerita lagi, ketika celana atau bajunya robek,
tidak ada celana atau baju baru. Bahkan ada yang memperbaikinya saja tidak.
Bapak harus menjahitnya sendiri, jarum dan benang saja harus meminjam ke Pakdhe
dan Budhenya. Bapak memakan makanan yang hampir basi itu sudah biasa, untuk
mengeluh saja bahkan Bapak tidak berani. Bapak tidur di luar rumah juga sudah menjadi
hal yang lumrah karena pintu telah dikunci. Hal itu disebabkan hanya karena
Bapak terlambat masuk rumah beberapa menit untuk melihat wayang yang memang sering
diadakan di desanya. Ya, memang Bapakku dididik secara keras oleh neneknya. Untuk
mengambil sedikit hati neneknya saja harus bercocok tanam, menanam bunga, dan
buah-buahan. Berbeda denganku dan masku sekarang. Aku memang manusia yang
kurang bersyukur. Ketika aku menangis karena masalah sekolah atau yang lainnya,
Bapak selalu menyemangatiku untuk bangkit, kata-kata yang selalu aku ingat,
“Bapak aja yang dulu sebatang kara tidak punya siapa-siapa yang dibuat sandaran
aja bisa jadi kayak gini, masa kamu yang punya Bapak, Ibu sama Mas yang selalu
ada buat kamu tapi kamu pesimis dan gak bersemangat lagi?” Ya Allah, sungguh
hamba seseorang yang tidak pandai bersyukur, jika harus mengeluh dan pesimis
dengan keadaan. Mendengar kata-kata
bapakku itu, rasanya seperti tersulut api semangat yang membara.
Teringat
cerita Bapak ketika menikah dengan Ibuku dengan uang pas-pas an, tempat
pelaminan saja harus didekorasi sendiri oleh Bapak, dan berkata jikalau uangnya
lebih baik ditabung untuk kehidupan selanjutnya daripada harus membayar pekerja
yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri oleh Bapak. Bapak dan Ibu benar-benar
memulai semuanya dari nol, bekerja keras hingga jadi seperti ini. Ya inilah
romantisme perjuangan suami istri.
Teringat ketika
aku di Surabaya, dan aku mengirim sms ke bapakku yang isinya hanya, “Pak…”.
Bapak langsung meneleponku karena tahu jika aku sudah mengirim sms seperti itu,
berarti keadaanku sedang tidak baik. Bapak menanyakan keadaanku, meskipun aku
berkata tidak apa-apa, Bapak selalu memberiku semangat, bahkan sering sekali
mengirim Masku untuk menghiburku, entah hanya menemani makan atau datang di
depan kos.
Teringat cerita
ibuku saat Bapakku terbangun secara tiba-tiba dan menuju ke teras. Bapak
berkata seperti mendengar suaraku memanggil Bapak, persis gaya khasku ketika
memanggil Bapak dan Ibu ketika pulang dari Surabaya. Ya, Bapak memang seseorang
yang mudah sekali rindu, apalagi ke anak-anaknya. Pernah ketika pagi di hari
Senin aku berangkat ke Surabaya dan malamnya Bapak sudah sms bertanya kapan aku
akan pulang. Hehe lucu, padahal belum 24 jam tidak bertemu denganku. Mungkin sifat
itu juga yang menurun kepadaku. Sehingga aku sering sekali pulang ke rumah.
Teringat ketika
dulu waktu aku kecil dan Ibu masih harus kuliah dan baru pulang sore hari, Bapaklah
yang menyisiri rambutku, menguncir rambutku, dan memberinya minyak rambut agar
rambutku menjadi bagus. Bapak jugalah yang mendandaniku ketika ada temanku yang
ulang tahun. Karena masih anak kecil, bapak hanya memberiku bedak. Dan agar
mataku terlihat lebih indah, bapakku berniat memberi garis mata. Namun apa
daya, ternyata pensil alis mata ibuku entah ada dimana, sehingga menggunakan
Pensil 2B pun jadi. Meskipun susah, namun ternyata bisa. Haha.
Teringat ketika
Bapak menyuruhku untuk shalat berjamaah di Masjid bersama. Bapak sering kali
marah jika aku menunda-nunda shalat. Bapak jugalah yang selalu mengajariku
loyal kepada orang lain. Bapak selalu berkata, rejeki itu sudah ada yang
mengatur, ngapain pake iri-iri. Kalau sudah bekerja secara halal, insyaAllah
barokah semuanya, tidak perlu takut kekurangan.
Teringat ketika
Bapak sering kali membeli permen dan jajanan anak kecil. Ya bapak sangat suka
sekali dengan anak kecil, di rumah pun sering kali dipanggil Pak Puh oleh
anak-anak kecil. Ketika Bapak menyiram tanaman pun, anak-anak itu sering kali
menggoda Bapakku agar disiram, dan ketika disiram mereka pun makin senang. Anak-anak
kecil itu juga sering kali main ke rumahku, sehingga Bapak menyediakan makanan
itu. Itu juga yang menyebabkan aku
menyukai anak-anak, bahkan ingin mempunyai adik.
Teringat ketika
aku berkata kalau aku ini jelek dan membanding-bandingkan dengan yang lain,
Bapaklah yang berkata bahwa aku adalah perempuan tercantik bersama Ibuku, anak
perempuannya yang akan menjadi putri kecilnya yang selalu Bapak sayang, nggak
perlu iri sama yang lain, dan harus bersyukur. Rasanya sangat menenangkanku, meskipun
aku tau, banyak yang lebih cantik. Namun bagiku, Allah dan keluargaku saja
cukup.
Dan masih banyak lagi cerita
mengenai Bapak kesayanganku ini…
Ketika
aku SMP, aku bersekolah di tempat Bapak dan Ibuku bekerja. Kala itu aku sedang
menikmati istirahat sekolah, tiba-tiba aku dipanggil guruku dan berkata jikalau
Bapakku masuk UGD karena sesak nafas. Karena waktu itu aku masih sangat polos,
aku sangat bertanya-tanya ada apa dengan Bapakku, padahal yang mempunyai sesak
nafas adalah masku. Aku terus berpikir hingga pulang sekolah. Berpikirku pun
semakin keras karena guru-guruku yang lain semakin perhatian dengan ku dan
masku dengan mengajak kami pulang bersama, namun kami menolak dan lebih memilih
naik len seperti biasanya. Setelah sampai rumah, aku dan masku masih tetap
bingung karena ada banyak orang di depan rumahku untuk menanyakan keadaan
Bapakku. Aku yang masih bingung hanya menunggu kabar dari Ibuku. Ternyata ibuku
berkata Bapak akan pulang jadi kami tidak perlu menyusul ke rumah sakit. Ketika
sore hari, Bapakku benar-benar pulang, namun keadaannya belum juga membaik.
Sedih, benar-benar sedih. Banyak tetangga yang datang menjenguk dan memberikan
saran agar rasa sakitnya berkurang. Aku pada saat itu jujur tidak berani
mendekati Bapakku, karena pasti aku akan menangis, tapi aku tidak ingin Bapak
melihatku menangis, karena itu akan menambah bebannya. Aku hanya melihat Bapak
dari balik pintu. Karena keadaan Bapak tidak juga membaik, Ibu memutuskan untuk
membawa ke dokter terdekat. Dan aku semakin tidak bisa menyembuyikan
kesedihanku ketika dokter berkata, “Kematian itu bisa menjemput kapan saja,
detik ini pun bisa, jadi sebelum terlambat mending segera dibawa ke rumah sakit”.
Ibu mendengar kata dokter dan membawa Bapak ke rumah sakit dibantu oleh
tetangga-tetanggaku. Aku disuruh Ibu menunggu di rumah bersama mas dan tanteku.
Berjam-jam gelisah, dan akhirnya pukul 01.00WIB dini hari, tetanggaku yang
mengantar tadi pulang tanpa Ibu dan Bapakku, dan berkata, “Bapak sudah ndak
kenapa-kenapa, Ibu pesen kalian ndang tidur, ke rumah sakitnya setelah kalian
pulang sekolah saja” (maklum waktu itu masih belum punya HP). Aku sudah mulai
tenang karena disana pasti sudah ditangani oleh para ahli. Dan Alhamdulillah,
ketika aku ke rumah sakit, aku melihat Bapak sudah bisa tersenyum meskipun
harus menggunakan kursi roda ketika perjalanan jauh. Dan setelah diteliti,
ternyata Bapak terkena serangan jantung mendadak. Sehingga seumur hidupnya
harus meminum obat karena tidak ingin dioperasi dengan resiko keberhasilan
50:50. Dan Alhamdulillah, Allah masih menyelamatkan beliau hingga sekarang.
Karena
itu, aku sering kali takut meninggalkan kedua orang tuaku. Pernah ketika
setahun yang lalu, keadaan Bapak memburuk lagi, tekanan darah mencapai 200.
Menakutkan. Aku harus membonceng Bapak dengan kecepatan 20km/jam, Bapak
berkata, “Jangan banter-banter, Bapak Nggliyeng”. Aku yang bermaksud agar
segera sampai rumah sakit, menurunkan kecepatanku karena Bapak memegangiku
semakin kencang. Aku takut Bapak terjatuh kala itu. Dan Alhamdulillah selamat
hingga rumah sakit. Bapak ke rumah sakit hanya bermaksud control kesehatan.
Ibuku yang sudah berada di rumah sakit langsung membawa Bapak ke poli Jantung.
Dan seperti biasa Poli Jantung sangat ramai sehingga harus antri. Dan tiba
waktunya Bapakku, dokter berkata bahwa Bapak harus diopname. Aku yang pada saat
itu harus berangkat ke Surabaya rasanya tidak rela meninggalkan Bapakku, dengan
airmata yang hampir menetes, aku mencium tangan Bapakku yang tengah duduk
bersandar yang wajah yang lesu. Ketika di perjalanan, sungguh perasaanku tidak
tenang, airmata sudah menetes kemana-mana, membayangkan keadaan Bapak. jikalau
ke Surabaya bukanlah kewajiban maka aku tidak akan berangkat. Setelah urusanku
di Surabaya selesai, aku langsung buru-buru ke Sidoarjo untuk melihat keadaan
Bapak. Dan Alhamdulillah Bapak sudah lebih baik karena sudah ditangani oleh
ahlinya.
Karena
keadaan inilah aku sering sekali pulang ke rumah, mungkin hanya untuk melihat
senyum Bapak dan Ibu, aku sudah senang. Ketika banyak teman-teman bertanya, “Ngapain
to sering pulang? Bikin capek aja, buang-buang waktu di jalan” atau ada juga
yang bilang “Jangan sering-sering pulang kenapa, semakin sering kamu di jalan,
maka presentase kecelakaan akan lebih besar” atau juga yang bilang “Manja iki,
dikit-dikit pulang.” Sungguh aku tidak peduli perkataan mereka. Aku hanya ingin
menjaga orangtuaku dengan caraku, melihat orangtuaku bahagia karena aku tau
mereka senang jika aku pulang. Kelelahan itu, tidak ada artinya jika
dibandingkan pengorbanan mereka. Jika aku diijinkan menyanyi, maka lagu inilah
yang tepat buat mereka.
“Kau jadi inspirasiku, semangat
hidupku...”
Mungkin aku bukanlah orang yang
mudah mengatakan sayang secara langsung, mungkin juga terlalu gengsi. Namun
semoga tulisan ini dapat menyampaikan semuanya, semoga Bapak tahu bahwa,..
“Bapak, aku sangat mencintaimu,…..”
“tetaplah kuat, seperti Bapak yang selalu
menguatkanku, semoga Allah segera mengangkat rasa sakit yang Bapak rasa.”
Sabella Nisa Saputra,
Putri kecil kesayanganmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar