Senin, 17 Maret 2014

Untuk Bapakku tersayang

Untuk Bapakku tersayang

Entah harus memulai darimana untuk bercerita,..

Tanpa ku awali, namun sudah kudapati semenjak aku dilahirkan di dunia, keluargaku…rumah teristimewaku,..



Bapak..

            Teringat ketika Bapak mengajariku naik sepeda roda 2 dengan tambahan 2 roda di samping kiri dan kanan, Bapak mendorong sepedaku, memegangiku agar aku tidak terjatuh. Ketika aku sudah mulai lancar bersepeda, Bapak ikut berlari mengejarku, sekali lagi agar aku tidak terjatuh. Ketika Bapak tahu kalau sepeda ku akan menabrak pembatas jalan, Bapakku dengan cepat berlari, segera menggendongku dan memindahkanku dari atas sepeda, dan lagi-lagi agar aku tidak terjatuh.
      Teringkat ketika aku berangkat ke sekolah pertama kali menggunakan sepeda motor. Bapak mengikutiku dari belakang hingga sampai di depan sekolah. Aku mengira Bapak akan kembali ketika sampai di tengah jalan, karena Bapak harus segera berangkat bekerja saat itu. Ternyata tidak, bapak masih mengikutiku hingga aku masuk di gerbang sekolah, padahal jarak rumahku cukup jauh sekitar 10km sehingga membutuhkan waktu 40 menit untuk pulang-pergi dari rumah. Bapak tidak pernah berkata lelah kepadaku. Bapak juga selalu mengingatkanku agar tidak menyetir motor di atas kecepatan 40km/jam. Meskipun aku sering kali nakal dengan mengemudikan sepeda motorku di atas itu, bahkan 2 kali lipatnya.
          Teringat ketika aku belum pulang pukul 8 malam, Bapak meneleponku berkali-kali untuk menanyakan keberadaanku, menyuruhku untuk segera pulang. Dan ketika aku sudah kuliah, sering kali aku pulang lebih dari jam 9 malam bahkan jam 11 pun pernah. Bapak akan selalu marah, tapi aku tahu, itu karena Bapak tidak ingin melihatku kenapa-kenapa. Terlebih Bapak sering mendengar berita penculikan, penjambretan yang tidak segan melukai bahkan membunuh korbannya. Bapak bilang, “Bapak gak masalah sepedamu, gak masalah laptop yang kamu bawa, tapi nek kamu yang kenapa-kenapa, Bapak yang gak rela, keselamatan anak perempuan Bapak satu-satunya, gak bisa diganti sama uang sebanyak apapun.” Ya Allah…saya sungguh keterlaluan jika selalu membuat Bapak sekhawatir itu.
         Teringat ketika aku sering tertidur di depan televisi, Bapak selalu menggendongku, memindahkanku ke tempat tidurku, agar tidurku lebih nyenyak. Bapak juga selalu ‘menyebleki’ nyamuk-nyamuk yang menghinggapiku ketika aku tidur, Bapak tidak ingin kenyamanan tidurku terganggu karena gigitan nyamuk itu.
         Teringat ketika aku berbuat kesalahan, sehingga membuat Bapak marah. Aku pun menangis dan terlihat canggung ketika bertemu Bapak. Bapak dengan lembutnya membelikanku sesuatu yang aku sukai kemudian meminta maaf karena telah memarahiku dan dengan nada rendah menasehatiku agar tidak mengulanginya. Bapak, begitu lembut perasaannya, mudah  merasa bersalah, padahal akulah yang memang bersalah.
         Teringat ketika Bapak selalu mengecek keadaan sepeda motorku sebelum aku berangkat ke Surabaya, mencoba rem, melihat bensin, menekan-nekan ban dan masih banyak lagi, memastikan anak perempuannya selamat dalam perjalanan menuju Surabaya. Jika ada yang tidak beres dengan sepeda motorku, Bapak selalu berusaha memperbaiki semampunya. Jika tidak dapat diselesaikannya, maka Bapak selalu menyuruhku menggunakan motor ibuku terlebih dahulu. Ya, agar anak perempuannya ini baik-baik saja di perjalanan.
         Teringat ketika Bapak menceritakan kehidupannya yang tidak seberuntung aku dan masku kini. Bapak ketika sekolah hanya mendapat uang saku yang pas-pasan untuk naik bis pulang-pergi, pernah sesekali Bapak tidak punya uang untuk pulang naik bis, namun Bapak nekat naik bis dan akhirnya tidak diusir karena merasa iba ke Bapak. Uangnya habis hanya karena Bapak merasa lapar dan ingin sekali membeli ote-ote yang dibeli teman-temannya.Lain cerita lagi, ketika celana atau bajunya robek, tidak ada celana atau baju baru. Bahkan ada yang memperbaikinya saja tidak. Bapak harus menjahitnya sendiri, jarum dan benang saja harus meminjam ke Pakdhe dan Budhenya. Bapak memakan makanan yang hampir basi itu sudah biasa, untuk mengeluh saja bahkan Bapak tidak berani. Bapak tidur di luar rumah juga sudah menjadi hal yang lumrah karena pintu telah dikunci. Hal itu disebabkan hanya karena Bapak terlambat masuk rumah beberapa menit untuk melihat wayang yang memang sering diadakan di desanya. Ya, memang Bapakku dididik secara keras oleh neneknya. Untuk mengambil sedikit hati neneknya saja harus bercocok tanam, menanam bunga, dan buah-buahan. Berbeda denganku dan masku sekarang. Aku memang manusia yang kurang bersyukur. Ketika aku menangis karena masalah sekolah atau yang lainnya, Bapak selalu menyemangatiku untuk bangkit, kata-kata yang selalu aku ingat, “Bapak aja yang dulu sebatang kara tidak punya siapa-siapa yang dibuat sandaran aja bisa jadi kayak gini, masa kamu yang punya Bapak, Ibu sama Mas yang selalu ada buat kamu tapi kamu pesimis dan gak bersemangat lagi?” Ya Allah, sungguh hamba seseorang yang tidak pandai bersyukur, jika harus mengeluh dan pesimis dengan keadaan.  Mendengar kata-kata bapakku itu, rasanya seperti tersulut api semangat yang membara.
             Teringat cerita Bapak ketika menikah dengan Ibuku dengan uang pas-pas an, tempat pelaminan saja harus didekorasi sendiri oleh Bapak, dan berkata jikalau uangnya lebih baik ditabung untuk kehidupan selanjutnya daripada harus membayar pekerja yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri oleh Bapak. Bapak dan Ibu benar-benar memulai semuanya dari nol, bekerja keras hingga jadi seperti ini. Ya inilah romantisme perjuangan suami istri.    
Teringat ketika aku di Surabaya, dan aku mengirim sms ke bapakku yang isinya hanya, “Pak…”. Bapak langsung meneleponku karena tahu jika aku sudah mengirim sms seperti itu, berarti keadaanku sedang tidak baik. Bapak menanyakan keadaanku, meskipun aku berkata tidak apa-apa, Bapak selalu memberiku semangat, bahkan sering sekali mengirim Masku untuk menghiburku, entah hanya menemani makan atau datang di depan kos.
Teringat cerita ibuku saat Bapakku terbangun secara tiba-tiba dan menuju ke teras. Bapak berkata seperti mendengar suaraku memanggil Bapak, persis gaya khasku ketika memanggil Bapak dan Ibu ketika pulang dari Surabaya. Ya, Bapak memang seseorang yang mudah sekali rindu, apalagi ke anak-anaknya. Pernah ketika pagi di hari Senin aku berangkat ke Surabaya dan malamnya Bapak sudah sms bertanya kapan aku akan pulang. Hehe lucu, padahal belum 24 jam tidak bertemu denganku. Mungkin sifat itu juga yang menurun kepadaku. Sehingga aku sering sekali pulang ke rumah.
Teringat ketika dulu waktu aku kecil dan Ibu masih harus kuliah dan baru pulang sore hari, Bapaklah yang menyisiri rambutku, menguncir rambutku, dan memberinya minyak rambut agar rambutku menjadi bagus. Bapak jugalah yang mendandaniku ketika ada temanku yang ulang tahun. Karena masih anak kecil, bapak hanya memberiku bedak. Dan agar mataku terlihat lebih indah, bapakku berniat memberi garis mata. Namun apa daya, ternyata pensil alis mata ibuku entah ada dimana, sehingga menggunakan Pensil 2B pun jadi. Meskipun susah, namun ternyata bisa. Haha.
Teringat ketika Bapak menyuruhku untuk shalat berjamaah di Masjid bersama. Bapak sering kali marah jika aku menunda-nunda shalat. Bapak jugalah yang selalu mengajariku loyal kepada orang lain. Bapak selalu berkata, rejeki itu sudah ada yang mengatur, ngapain pake iri-iri. Kalau sudah bekerja secara halal, insyaAllah barokah semuanya, tidak perlu takut kekurangan.
Teringat ketika Bapak sering kali membeli permen dan jajanan anak kecil. Ya bapak sangat suka sekali dengan anak kecil, di rumah pun sering kali dipanggil Pak Puh oleh anak-anak kecil. Ketika Bapak menyiram tanaman pun, anak-anak itu sering kali menggoda Bapakku agar disiram, dan ketika disiram mereka pun makin senang. Anak-anak kecil itu juga sering kali main ke rumahku, sehingga Bapak menyediakan makanan itu.  Itu juga yang menyebabkan aku menyukai anak-anak, bahkan ingin mempunyai adik.
Teringat ketika aku berkata kalau aku ini jelek dan membanding-bandingkan dengan yang lain, Bapaklah yang berkata bahwa aku adalah perempuan tercantik bersama Ibuku, anak perempuannya yang akan menjadi putri kecilnya yang selalu Bapak sayang, nggak perlu iri sama yang lain, dan harus bersyukur. Rasanya sangat menenangkanku, meskipun aku tau, banyak yang lebih cantik. Namun bagiku, Allah dan keluargaku saja cukup.

Dan masih banyak lagi cerita mengenai Bapak kesayanganku ini…

         Ketika aku SMP, aku bersekolah di tempat Bapak dan Ibuku bekerja. Kala itu aku sedang menikmati istirahat sekolah, tiba-tiba aku dipanggil guruku dan berkata jikalau Bapakku masuk UGD karena sesak nafas. Karena waktu itu aku masih sangat polos, aku sangat bertanya-tanya ada apa dengan Bapakku, padahal yang mempunyai sesak nafas adalah masku. Aku terus berpikir hingga pulang sekolah. Berpikirku pun semakin keras karena guru-guruku yang lain semakin perhatian dengan ku dan masku dengan mengajak kami pulang bersama, namun kami menolak dan lebih memilih naik len seperti biasanya. Setelah sampai rumah, aku dan masku masih tetap bingung karena ada banyak orang di depan rumahku untuk menanyakan keadaan Bapakku. Aku yang masih bingung hanya menunggu kabar dari Ibuku. Ternyata ibuku berkata Bapak akan pulang jadi kami tidak perlu menyusul ke rumah sakit. Ketika sore hari, Bapakku benar-benar pulang, namun keadaannya belum juga membaik. Sedih, benar-benar sedih. Banyak tetangga yang datang menjenguk dan memberikan saran agar rasa sakitnya berkurang. Aku pada saat itu jujur tidak berani mendekati Bapakku, karena pasti aku akan menangis, tapi aku tidak ingin Bapak melihatku menangis, karena itu akan menambah bebannya. Aku hanya melihat Bapak dari balik pintu. Karena keadaan Bapak tidak juga membaik, Ibu memutuskan untuk membawa ke dokter terdekat. Dan aku semakin tidak bisa menyembuyikan kesedihanku ketika dokter berkata, “Kematian itu bisa menjemput kapan saja, detik ini pun bisa, jadi sebelum terlambat mending segera dibawa ke rumah sakit”. Ibu mendengar kata dokter dan membawa Bapak ke rumah sakit dibantu oleh tetangga-tetanggaku. Aku disuruh Ibu menunggu di rumah bersama mas dan tanteku. Berjam-jam gelisah, dan akhirnya pukul 01.00WIB dini hari, tetanggaku yang mengantar tadi pulang tanpa Ibu dan Bapakku, dan berkata, “Bapak sudah ndak kenapa-kenapa, Ibu pesen kalian ndang tidur, ke rumah sakitnya setelah kalian pulang sekolah saja” (maklum waktu itu masih belum punya HP). Aku sudah mulai tenang karena disana pasti sudah ditangani oleh para ahli. Dan Alhamdulillah, ketika aku ke rumah sakit, aku melihat Bapak sudah bisa tersenyum meskipun harus menggunakan kursi roda ketika perjalanan jauh. Dan setelah diteliti, ternyata Bapak terkena serangan jantung mendadak. Sehingga seumur hidupnya harus meminum obat karena tidak ingin dioperasi dengan resiko keberhasilan 50:50. Dan Alhamdulillah, Allah masih menyelamatkan beliau hingga sekarang.
            Karena itu, aku sering kali takut meninggalkan kedua orang tuaku. Pernah ketika setahun yang lalu, keadaan Bapak memburuk lagi, tekanan darah mencapai 200. Menakutkan. Aku harus membonceng Bapak dengan kecepatan 20km/jam, Bapak berkata, “Jangan banter-banter, Bapak Nggliyeng”. Aku yang bermaksud agar segera sampai rumah sakit, menurunkan kecepatanku karena Bapak memegangiku semakin kencang. Aku takut Bapak terjatuh kala itu. Dan Alhamdulillah selamat hingga rumah sakit. Bapak ke rumah sakit hanya bermaksud control kesehatan. Ibuku yang sudah berada di rumah sakit langsung membawa Bapak ke poli Jantung. Dan seperti biasa Poli Jantung sangat ramai sehingga harus antri. Dan tiba waktunya Bapakku, dokter berkata bahwa Bapak harus diopname. Aku yang pada saat itu harus berangkat ke Surabaya rasanya tidak rela meninggalkan Bapakku, dengan airmata yang hampir menetes, aku mencium tangan Bapakku yang tengah duduk bersandar yang wajah yang lesu. Ketika di perjalanan, sungguh perasaanku tidak tenang, airmata sudah menetes kemana-mana, membayangkan keadaan Bapak. jikalau ke Surabaya bukanlah kewajiban maka aku tidak akan berangkat. Setelah urusanku di Surabaya selesai, aku langsung buru-buru ke Sidoarjo untuk melihat keadaan Bapak. Dan Alhamdulillah Bapak sudah lebih baik karena sudah ditangani oleh ahlinya.
          Karena keadaan inilah aku sering sekali pulang ke rumah, mungkin hanya untuk melihat senyum Bapak dan Ibu, aku sudah senang. Ketika banyak teman-teman bertanya, “Ngapain to sering pulang? Bikin capek aja, buang-buang waktu di jalan” atau ada juga yang bilang “Jangan sering-sering pulang kenapa, semakin sering kamu di jalan, maka presentase kecelakaan akan lebih besar” atau juga yang bilang “Manja iki, dikit-dikit pulang.” Sungguh aku tidak peduli perkataan mereka. Aku hanya ingin menjaga orangtuaku dengan caraku, melihat orangtuaku bahagia karena aku tau mereka senang jika aku pulang. Kelelahan itu, tidak ada artinya jika dibandingkan pengorbanan mereka. Jika aku diijinkan menyanyi, maka lagu inilah yang tepat buat mereka.
“Kau jadi inspirasiku, semangat hidupku...”

Mungkin aku bukanlah orang yang mudah mengatakan sayang secara langsung, mungkin juga terlalu gengsi. Namun semoga tulisan ini dapat menyampaikan semuanya, semoga Bapak tahu bahwa,..

“Bapak, aku sangat mencintaimu,…..”



“tetaplah kuat, seperti Bapak yang selalu menguatkanku, semoga Allah segera mengangkat rasa sakit yang Bapak rasa.”



Sabella Nisa Saputra,
Putri kecil kesayanganmu